Rabu, 10 Februari 2010

Malam, Sungai, dan Bintang

Sampang, 09.02.10

Sudah cukup lama saya tidak melakukan hal ini. Mungkin sudah dua atau tiga minggu lamanya. Menikmati malam di pinggir sungai, ditemani bintang dan riak air sungai. Air sungai bergemerlap memantulkan cahaya lampu di pinggir jalan. Desiran angin malam Madura – yang tidak terlalu menusuk kulit – berhembus dengan tenangnya. Gumpalan awan tebal dan tipis juga beterbangan. Sebentar bulan dan bintang tertutup awan, kemudian mereka muncul lagi. Sepertinya awan sedang bermain kejar-kejaran dengan riangnya.

Saya hanya duduk dan diam. Sederhana tapi tidak membosankan. Mungkin kesederahanaan inilah yang membuat saya tidak pernah bosan melakukan hal ini. Sangat berbeda dengan keadaan dunia saat ini yang penuh kemewahan. Saya tidak habis pikir mengapa banyak orang yang bahkan membutakan hatinya hanya untuk mendapatkan sesuatu yang mereka sebut “mewah” itu. Tapi bukankah kesederhanaan itu lebih indah dan membuat kita lebih menikmati hidup? Seorang bijak pernah mengatakan bahwa tidak ada kehinaan dalam kesederhanaan. Sepertinya itu benar. Setidaknya menurut saya.

Saya masih duduk dan diam. Malam, sungai, dan bintang juga masih menyenangkan. Mereka tampak sangat bersahabat. Persahabatan yang sederhana dan hangat. Saya iri melihat mereka. Kadang saya berpikir, apa saya bisa bersahabat seperti mereka? Sepertinya tidak ada salahnya untuk saya coba. Malam, sungai, dan bintang. Tiga hal yang berbeda, namun saling melengkapi. Sungguh persahabatan yang sederhana dan hangat, bukan?

Ehm, sepertinya embun sudah mulai menyapa bumi. Kulit saya juga sudah mulai terasa basah. Sudah waktunya mengakhiri malam yang sederhana dan hangat ini. Semoga besok masih berjumpa kembali untuk menjalani hidup secara sederhana.

Sepertinya lagu Louis Amstrong cukup pas untuk mengakhiri malam yang hangat ini.

I see skies of blue, and clouds of white.
The bright blessed day, the dark sacred night.
And I think to myself, what a wonderful world…

Sebuah Permulaan

Malang, 01.02.10

Sepertinya sekaranglah waktu yang cukup tepat bagi saya untuk mulai menulis. Selain karena minat menulis yang tiba-tiba muncul, tampaknya sayang jika terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur. Memang beberapa hari terakhir ini tidur terasa begitu lelapnya. Pikiran terasa begitu tenangnya. Sepertinya sudah hampir satu tahun saya tidak merasakan hal ini. Skripsi yang hampir dua semester belum selesai rupanya telah berhasil memetamorfosiskan ketenangan menjadi “ketakutan”.

1 Pebruari 2010 mungkin menjadi salah satu titik tolak yang baik bagi saya. Skripsi (akhirnya) selesai. Dan saya pun lulus. Tampaknya Tuhan sudah mulai meng-antiklimaks-kan plot perjalanan skripsi saya. Namun lulus bukanlah akhir pencapaian. Justru inilah awal yang sebenarnya. Saya yakin, Tuhan sudah menyiapkan skenario selanjutnya. Dan apapun itu, saya HARUS siap “bermain”.

Ah, sepertinya kurang enak jika pada posting pertama ini saya membicarakan skenario Tuhan tentang hidup. Topik yang terdengar cukup berat. Biarkan saya menenangkan pikiran sejenak. Oke, mari ganti topik pembicaraan. Membahas tentang nama blog ini sepertinya menyenangkan: SYNNEFO.

Ternyata mencari sebuah nama merupakan hal yang cukup sulit dan membingungkan. Akhirnya pilihan saya jatuh pada SYNNEFO. Dalam bahasa Yunani, synnevo berarti AWAN. Nama harus bisa merepresentasikan filsafat yang ingin disampaikan. Walaupun agak dipaksakan, begini filsafat saya:


Awan itu menyenangkan. Dia sangat berbeda dengan panas atau hujan yang disukai orang pada kondisi-kondisi tertentu saja. Saya merasa senang jika panas saat menjemur pakaian, dan merasa sebaliknya jika hujan tiba-tiba turun. Tapi, suatu saat saya akan merasa senang saat hujan turun jika panas terlalu menyengat.

Awan itu universal. Dia bisa muncul saat panas, dan dia semakin menunjukkan eksistensinya saat hujan.

Awan itu unik. Dia menetralisir segalanya. Dari manapun asal air yang ada – dari laut yang biru, sungai yang keruh, sampai selokan yang pekat – saat menguap dan terkondensasi menjadi awan, maka saat turun ke bumi air tersebut sudah ternetralisir.

Ya, itu menurut saya. Setuju atau tidak, saya juga berhak untuk berpendapat, bukan? Hahaha…
Apapun itu, selamat menjadi awan!!!